Jumat, 01 April 2011

SYOK HIPOVOLEMIK

1.1 Latar Belakang
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik).7
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).7
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hipovolemik. Syok hipovolemik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis masif dan luka bakar yang luas.7
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik. Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang, muncul kontroversi seputar penanganan optimal pada syok hemoragik.5



2.1. Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik).7
Syok diklasifikasikan menurut etiologi, yaitu :
1. Syok hipovolemik : dehidrasi, kehilangan darah dan luka bakar
2. Syok distributif : kehilangan tonus vascular (anafilakfik, septik, syok
toksik)
3. Syok kardiogenik : kegagalan pompa jantung
4. Syok obstruktif : hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik dan
ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan
tamponade perikardi.2
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).1, 5

2.2. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat dari volume darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat pendarahan yang masif atau kehilangan plasma darah.7
Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang terdiri dari:
1. Perdarahan:
• Hematom subkapsular hati
• Aneurisma aorta pecah
• Pendarahan gastrointestinal
• Perlukaan berganda
2. Kehilangan plasma:
• Luka bakar yang luas
• Pankreatitis
• Deskuamasi kulit
• Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular:
• Muntah (vomitus)
• Dehidrasi
• Diare
• Terapi diuretik yang sangat agresif
• Diabetes insipidus
• Insufisiensi renal

2.3. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal, dan sistem neuroendokrin.5
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber pendarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.5
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.5
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.5
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.5
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.5
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ.

Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya gastrointestinal. Kebutuhan energy untuk penalaksanaan metabolism di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ tersebut tidak mampu menyimpan cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan kesediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.

Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular
Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.


Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam usus. Hal ini memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki sel dan menyebabkan depresi jantung.

Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin. 7
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.3,8

2.4. Gejala Klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.3,8
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi efektif. Di sini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin.7
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor).5
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.3,8
Tanda-tanda vital ortostatik mungkin normal pada individu hipovolemik, atau individu normal dapat memperlihatkan perubahan-perubahan ortostatik yaitu hipotensi. Jadi, gunakan pertimbangan klinis. Sebagai tambahan, ingesti alkohol, makan atau usia lanjut dapat menyebabkan perubahan-perubahan ortostatik dalam tekanan darah dan nadi. Penurunan diastolik ortostatik sebesar 10-20 mmHg atau peningkatan nadi sebesar 15 detak/detik dianggap bermakna.periksa tanda-tanda vital ortostatik, berbaring dan setelah berdiri selama 1 sampai 2 menit. Takikardia biasanya tetap ada tetapi mungkin tidak didapatkan bila ada iritasi diafragma, yang menyebabkan stimulasi vagal. Hipoperfusi ditandai oleh berkurangnya jumlah urin, daya pikir menurun, ekstremitas dingin, bercak-bercak, dll.3,8
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:
(1) Turunnya turgor jaringan
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.3,8
Dehidrasi dapat timbul pada diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala.7
Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi 3 tingkatan, yaitu :
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) : gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB) : turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB) : tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.7
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, tempratur tubuh dan tanda-tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Adanya kualitas bunyi usus dan adanya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan “clue” bagi etiologi.7
Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri. Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri, nyeri punggung atau nyeri panggul.5
Skor penilaian klinis dehidrasi :
1. Rasa haus/muntah (1)
2. Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg (1)
3. Tekanan darah sistolik <60 mmHg (2)
4. Frekuensi nadi >120 kali/menit (1)
5. Kesadaran apatis (1)
6. Kesadaran somnolen, sopor atau koma (2)
7. Frekuensi nafas >30 kali/menit (1)
8. Facies cholerica (2)
9. Vox cholerica (2)
10. Turgor kulit menurun (1)
11. Washer women’s hand (1)
12. Eksremitas dingin (1)
13. Sianosis (2)
14. Umur 50-60 tahun (1)
15. Umur >60 tahun (2)
Skor Dalyono di atas merupakan penilaian dari klinis pasien yang menentukan jumlah kebutuhan cairan yang diberikan pada pasien dehidrasi.7
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulkan keterangan hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti inflamasi non-steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esofagus. Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.5
Pada pasien demam berdarah dengue dapat jatuh pada keadaan syok. Syok biasanya terjadi saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 samapai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin–lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma. Kondisi ini dapat diperberat dengan komplikasi yaitu asidosis metabolic, perdarahan saluran cerna hebat atau pendarahan lain, hal ini pertanda prognosis buruk.4
Hipovolemia ringan (<20 % volume darah) menimbulkan takikardi ringan dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada hipovolemia sedang (20-40 % dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.7

2.5. Stadium Syok
Syok secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :
1. Stadium kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi :
a. Resistensi sistemik meningkat :
- distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (jantung, paru, otak)
- resistensi arteriol meningkat  diastolic pressure meningkat.
b. Heart rate meningkat  cardiac output meningkat.
c. Sekresi vasopressin, renin-angiotensin-aldosteron meningkat  ginjal menahan air dan sodium di dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis : takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (lebih dari 2 detik).
2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi :
a. Perfusi jaringan buruk  O2 sangat turun  metabolism anaerob  laktat meningkat  laktat asidosis, diperberat oleh penumpukan CO2 , dimana CO2 menjadi asam karbonat.
b. Gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+ pump tingkat seluler  integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria memburuk  kerusakan sel.
c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem koagulasi, akan diperburuk dengan terbentuknya agregasi trombosit dan pembentukan trombus disertai tendensi perdarahan.
d. Pelepasan mediator vaskular : histamine, serotonin, sitokin (TNF alfa dan interleukin I), xantin oxydase  membentuk oksigen radikal serta platelets aggregating factor.
Pelepsan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat  venous return menurun  preload turun  cardiac output turun.
Manifestasi klinis : takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk, asidosis, oliguria dan kesadaran menurun.
3. Stadium irreversible
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel  multi organ failure. Cadangan phosphate berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar  tubuh kehabisan energi.
Manifestasi klinis : nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur. Anuria dan tanda-tanda kegagalan organ.6


2.6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.5
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.5
Telah ditetapkan klasifikasi perdarahan berdasarkan persentasi volume darah yang hilang. Namun sifatnya tidak absolut dan hanya bersifat sebagai bantuan. Tatalaksana harus agresif dan lebih dituntun oleh respon terhadap terapi ketimbang menurut klasifikasi awal.2
Pendarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%) tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal. Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%.5
Pendarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%). Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan ansietas ringan . Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.5
Pendarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%). Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi. Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik. Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.5
Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%). Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat. Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.5
Pada pasien dengan trauma, pendarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).5
Ada empat daerah pendarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar tubuh. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena pendarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru. Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal. Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan pendarahan dalam paha). Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada pendarahan luar.5
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar pendarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.5
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan spekulum steril. Meskipun, pada pendarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double set-up” di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.5

2.7. Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidak-stabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber pendarahan. Diagnosis akan sulit bila pendarahan tidak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma darah. Setelah pendarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya pendarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.7
Pada pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas, yaitu nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air, malabsorbtif, atau berdarah yang tergantung bakteri pathogen yang spesifik.
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan :
1. Keadaan klinis : ringan, sedang dan berat (telah dibicarakan di atas)
2. Berat Jenis Plasma : pada dehidrasi BJ plasma meningkat
a. Dehidrasi berat : BJ plasma 1,032 – 1,040
b. Dehidrasi sedang : BJ plasma 1,028 – 1,032
c. Dehidrasi ringan : BJ plasma 1,025 – 1,028
3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP) : Bila CVP +4 s/d +11 cmH2O : normal. Pada syok dan dehidrasi maka CVP kurang dari +4 cmH2O.7
Jangan mengandalkan TD sistolik sebagai indikator utama dari syok; kebiasaan ini mengakibatkan tertundanya diagnosis. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan TD sistolik yang bermakna, sampai pasien telah kehilangan 30% dari volume darahnya. Perhatian harus lebih ditujukan terhadap nadi, frekuensi nafas, dan perfusi kulit. Disamping itu, pasien-pasien yang sedang mendapat obat penyekat beta mungkin tidak memperlihatkan takikardia, tanpa memandang derajat syoknya.2
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka semua dapat dibedakan.7

Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.7
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.5

Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.5
Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.5
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.5
Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.5
Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.5

2.8. Differensial Diagnosis
Solusio plasenta Kehamilan ektopik
Aneurisma abdominal Pendarahan post partum
Aneurisma thoracis trauma pada kehamilan
Fraktur femur Syok hemoragik
Fraktur pelvis Syok hipovolemik
Gastritis dan ulkus peptikum Toksik
Plasenta previa 5

2.9. Penatalaksanaan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:
(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah
(2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
(3) resusitasi cairan.5
Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang diteteskan dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tidak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.7
Resusitasi Cairan Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.3,8
Memaksimalkan penghantaran oksigen. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.5
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.5
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.3,8
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah pendarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta. Pemilihan Cairan Intravena. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis.3,8
Prisip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan :
1. BJ plasma dengan rumus :
Kebutuhan cairan = BJ plasma – 1,025 x Berat badan x 4 ml
0,001
2. Metode Pierce berdasarkan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)
3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis :
Kebutuhan cairan = skor x 10% x kgBB x 1 liter
15
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak mungkin, sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama dengan 3 disertai syok diberikan cairan per intravena. (7)
Cairan rehidrasi pada dehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selangnasogastrik atau intravena. (7)
Bila dehidrasi sedang/beratsebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan sebaiknya pasien diberikan cairan peroral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau oral/saluran cerna atas tidak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 Natrium Bicarbonat dan 1,5 gr KCl setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit, dll.
Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas :
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) : jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam, ini agar dapat tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss (IWL).7
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.5
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.5
Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah.3,8
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.3,8
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk resusitasi, antara lain : NaCl 0,9%, larutan Ringer Laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch dan dekstran 70. Penganut resusitasi koloid berkilah bahwa tekanan onkotik yang meningkat karena penggunaan zat-zat ini adalah mengurangi edema paru. Namun, vaskular paru memungkinkan aliran zat dalam jumlah besar, termasuk protein, di antara ruang intravaskular dan interstisial. Dipertahankannya tekanan hidrostatik paru penting dalam mencegah edema paru. Alasan lain adalah dengan koloid lebih sedikit jumlah yang dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskular. Infus Ringer Laktat sebanyak 1 L hanya menambah volume intravaskular sebesar 194 ml. Banyak kajian membenarkan hal ini. Resusitasi dengan kristaloid saja akan mengencerkan protein plasma dan dengan mengurangi tekanan onkotik memudahkan filtrasi cairan dari inravaskular ke interstisial. Edema perifer bisa mengurangi konsumsi oksigen secara mencolok karena jarak anara sel dan kapiler menjadi bertambah. Walaupun demikian, perbedaan prognosis belum ditunjukkan antara koloid dan kristaloid.2
Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch dan deksran 70, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan koloid alamiah seperti fraksi protein murni, plasma beku segar, dan albumin. Mereka memiliki sifat ekspansi volume sama, tetapi karena struktur dan berat molekul yang tinggi, zat-zat koloid ini hampir seluruhnya tetap di ruangan intravaskular, sehingga mengurangi edema interstisial.2
Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid. Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.5
Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.2,5
Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.5
Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.5
Kontol perdarahan lanjut. Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, pendarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, pendarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah. Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.5
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim. Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.2,5
Hampir semua pendarahan ginekologi yang menyebabkan hipovolemia (misalnya kehamilan ektopik, plasenta previa, abruptio plasenta, kista ruptur, keguguran) membutuhkan intervensi bedah.2
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaannya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.2,5
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi. Obat anti sekretorik, obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta. Somatostatin (Zecnil), secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit. Dosis Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil. Tindak dianjurkan interaksi epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini. Kontraindikasi Hipersensitifitas dan kehamilan. Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin. Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung. Ocreotide (Sandostatin) Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas. Dosis Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari. Anak-anak 1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W. Kontraindikasi hipersensitivitas kehamilan risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang. Perhatian Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.5
Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.5


KESIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Gejala klasik syok yaitu, tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung, peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin.
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
Tenaga medis diharapkan dapat mengambil keputusan dan bertindak cepat saat menghadapi pasien dalam kondisi syok terutama syok hipovolemik dimana terjadi kehilangan cairan dalam jumlah besar. Diharapkan penanganan yang komprehensif dan cepat pada pasien syok dapat membantu menyelamatkan jiwa pasien.




DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2001. Patofisiologi. EGC. Jakarta. Hal. 390.
2. Graber, Mark A. 2002. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Farmamedia. Jakarta. Hal. 1-9.
3. FH Feng, KM Fock. 1996. Pengantar Penuntun Pengobatan Darurat. Yayasan Essentia Medica - Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 5–163.
4. Hadinegoro, Sri Rezeki H, dkk. 2004. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Hal. 9-10.
5. Kolecki, Paul. 2008. Syok Hipovolemik. www. Asrama Medica Fakultas kedokteran UNHAS. Diakses tanggal 24 Oktober 2009.
6. Leksana, Ery. 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 12- 14.
7. Sudoyo, Aru. W, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simabrata K. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 180-181.
8. Sunatrio, S. 14 Agustus 1999. Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan. Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM. Jakarta.

KATARAK KONGENITAL

1. Definisi
Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganannya yang kurang tepat.
Katarak yang berkembang penuh pada waktu lahir akan menghambat perkembangan daya penglihatan yang normal, kecuali bila diatasi dalam beberapa bulan.

2. Fisiologi Gejala
Pada katarak kongenital, kelainan utama terjadi di nukleus lensa – nukleus fetal atau nukleus embrional, tergantung pada waktu stimulus karaktogenik – atau di kutub anterior atau posterior lensa apabila kelainannya terletak di kapsul lensa.
Pada katarak developmental, kekeruhan pada lensa timbul pada saat lensa dibentuk. Jadi lensa belum pernah mencapai keadaan normal. Hal ini merupakan kelainan kongenital. Kekeruhan lensa, sudah terdapat pada waktu bayi lahir. Kekeruhan pada katarak kongenital jarang sekali mengakibatkan keruhnya seluruh lensa. Letak kekeruhannya, tergantung saat terjadinya gangguan pada kehidupan janin, sesuai dengan perkembangan embriologik lensa. Bentuk katarak kongenital memberikan kesan tentang perkembangan embriologik lensa, juga saat terjadinya gangguan pada perkembangan tersebut.
Kekeruhan lensa kongenital sering dijumpai dan sering secara visual tidak bermakna. Kekeruhan parsial atau kekeruhan di luar sumbu penglihatan – atau tidak cukup padat untuk mengganggu transmisi cahaya – tidak memerlukan terapi selain pengamatan untuk menilai perkembangannya. Katarak kongenital sentral yang padat memerlukan tindakan bedah.
Katarak kongenital yang menyebabkan penurunan penglihatan yang bermakna harus dideteksi secara dini – sebaiknya di ruang bayi baru lahir oleh dokter anak atau dokter keluarga. Katarak putih yang dan besar dapat tampak sebagai leukokoria yang dapat dilihat oleh orangtua. Katarak infantilis unilateral yang padat, terletak di tengah, dan garis tengahnya lebih besar dari 2 mm akan menimbulkan ambliopia deprivasi permanen apabila tidak diterapi dalam masa 2 bulan pertama kehidupan sehingga mungkin memerlukan tindakan bedah segera. Katarak bilateral simetrik memerlukan penatalaksanaan yang tidak terlalu segera, tetapi apabila penanganannya ditunda tanpa alasan yang jelas, dapat terjadi ambliopia deprivasi bilateral.
Kekeruhan pada katarak kongenital dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan gambaran morfologik. Pada pupil mata bayi yang menderita katarak kongenital akan terlihat bercak putih atau suatu leukokoria. Pada setiap leukokoria diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Pemeriksaan leukokoria dilakukan dengan melebarkan pupil.
Bila fundus okuli tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi indirek, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi.
Jika pada katarak kongenital ini kekeruhannya hanya kecil saja sehingga tidak menutupi pupil, maka penglihatannya bisa baik dengan cara memfokuskan penglihatan di sekitar kekeruhan. Jika lubang pupil tertutup katarak seluruhnya maka penglihatannya tidak akan normal dan fiksasi yang buruk akan mengakibatkan terjadinya nistagmus dan ambliopia. Pernah dilaporkan katarak monokular dan binokular yang telah dioperasi secara dini penglihatannya baik setelah diberi koreksi afakia. Katarak kongenital merupakan indikasi untuk dirujuk segera ke dokter ahli mata.

3. Penyebab dan gejala
Untuk mengetahui penyebab katarak kongenital diperlukan pemeriksaan riwayat prenatal infeksi ibu setelah rubela pada kehamilan trimester pertama dan pemakaian obat selama kehamilan. Kadang-kadang pada ibu hamil terdapat riwayat kejang, tetani, ikterus, atau hepatosplenomegali. Bila katarak disertai dengan uji reduksi pada urin yang positif, mungkin katarak ini terjadi akibat galaktosemia. Sering katarak kongenital ditemukan pada bayi prematur dan gangguan sistem syaraf seperti retardasi mental. Hampir 50 % dari katarak kongenital adalah sporadik dan tidak diketahui penyebabnya.
Katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita homosisteinuri, diabetes melitus hipoparatiroidism, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik, dan histoplasmosis. Penyakit lain yang menyertai katarak kongenital biasanya merupakan penyakit-penyakit herediter seperti mikroftalmus, aniridia, koloboma iris, keratokonus, iris heterokromia, lensa ektopik, displasia retina, dan megalo-kornea.
Katarak kongenital sering terdapat bersamaan dengan nistagmus, displasia ovea, dan strabismus.Atau ada pula yang menyertai kelainan pada mata sendiri, yang juga merupakan kelainan bawaan seperti heterokromia iris.
Seperti telah disinggung di atas, katarak kongenital dapat disebabkan oleh rubela kongenital. Bila ibu hamil 4 minggu pertama menderita rubela. Adapun trias sindroma rubela: mata-telinga-jantung.
1. Kerusakan mata: katarak, mikroftalmus, retinopati berpigmen.
2. Kerusakan telinga: tuli karena kerusakan pada alat corti.
3. V.S.D.: Ventriculal Septal Defect.
Virus rubelanya sendiri terdapat dalam lensa sampai bayi berusia 1-2 tahun.


Katarak kongenital juga mungkin bisa disebabkan oleh:
a) sindroma kondrodisplasia
b) sindroma down (trisomi 21)
c) sindroma pierre-robin
d) katarak kongenital familial
e) sindroma hallerman-streiff
f) sindroma serebrohepatorenalis (sindroma lowe)
g) trisomi 13
h) sindroma conradi
i) sindroma displasia ektodermal
j) sindroma marinesco-sjögren.
Kelainan mata yang dapat menyertai katarak kongenital antara lain:
1.Hiperplastik persisten vitreous primer
Penyebab badan kaca putih. Di badan kaca terdapat membran fibrovaskular yang diduga merupakan sisa dari vitreus primer, tepat di belakang lensa. Membran ini menutup sumbu visual dan merubah anatomi degmen depan dengan mendorong lensa dan iris ke depan, sehingga dapat terjadi perdarahan retina. Bola mata menjadi lebih kecil dibanding normal. Penatalaksanaannya sangat sulit, kadang dilakukan enukleasi. Kalau masih mungkin dilakukan katarak ekstraksi dan merobek membrannya.
2.Aniridia
3.Retrolental fibroplasti

Akibat yang buruk:
a. Ambliopia
Dalam perkembangan fungsi makula dan retina diperlukan rangsang cahaya yang diperlukan untuk latihan melihat. Adanya katarak, latihan melihat tidak sempurna sehingga fungsi makula dan retina terganggu. Ambliopia akibat katarak kongenital monokular lebih berat dibanding yang binokular.


b. Strabismus
Pada umur 3 bulan bayi normal akan terbentuk penglihatan dua mata. Hal ini memerlukan penglihatan yang jelas. Apabila terjadi hambatan melihat jelas akan menyebabkan mata bergerak sendiri-sendiri dan terjadilah strabismus atau dalam bahasa umum disebut juling.

4. Deteksi dan diagnosa
Pemeriksaan darah pada katarak kongenital perlu dilakukan karena ada hubungan katarak kongenital dengan diabetes melitus, kalsium dan fosfor.


5. Penggolongan
Katarak anak-anak dibagi menjadi dua kelompok: katarak kongenital (infantilis), yang terdapat sejak lahir atau segera sesudahnya; dan katarak didapat, yang timbul belakangan dan biasanya berkaitan dengan sebab-sebab spesifik. Kedua tipe katarak ini dapat bersifat unilateral atau bilateral dan parsial atau total. Banyak katarak kongenital tidak diketahui penyebabnya walaupun mungkin terdapat faktor genetik; yang lain disebabkan oleh penyakit infeksi atau metabolik atau berkaitan dengan bermacam-macam sindrom. Dapat dilakukan penelitian untuk mencari penyebab, tetapi pada sebagian besar kasus tidak ditemukan penyebabnya.

Katarak kongenital digolongkan dalam katarak:
a. Kapsulolentikular dimana pada golongan ini termasuk katarak kapsular dan katarak polaris.
b. Katarak lentikular termasuk dalam golongan ini katarak yang mengenai korteks atau nukleus lensa.

Dalam kategori ini termasuk kekeruhan lensa yang timbul sebagai kejadian primer atau berhubungan dengan penyakit ibu dan janin lokal atau umum.

Kekeruhan pada katarak kongenital dapat dijumpai dalam berbagai bentuk:
1. Arteri Hialoidea yang persisten
Arteri Hialoidea merupakan cabang dari a. retina sentral yang memberi
makan pada lensa. Pada umur 6 bulan dalam kandungan, a. hialoidea mulai diserap, sehingga pada keadaan normal, pada waktu lahir sudah tak tampak lagi. Kadang-kadang penyerapan tak berlangsung sempurna sehingga masih tertinggal sebagai bercak putih di belakang lensa, berbentuk ekor yang mulai di posterior lensa. Gangguan terhadap visus tak banyak. Visus biasanya masih 5/5, kekeruhannya stasioner, sehingga tak memerlukan tindakan.

2. Katarak polaris anterior (katarak piramidalis anterior)
Kekeruhan di bagian depan lensa mata persis di tengah. Terjadi karena tidak sempurnanya pelepasan kornea terhadap lensa. Bentuk kekeruhannya seperti piramid dengan tepi masih jernih, sehingga pupil midriasis akan menaikkan tajam penglihatan. Tipe ini biasanya tidak progresif.
Mungkin terjadi akibat uveitis anterior intrauterin. Letaknya terbatas pada polaris anterior. Berbentuk piramid, yang mempunyai dasar dan puncak, karena itu disebut juga katarak piramidalis anterior. Puncaknya dapat ke dalam atau ke luar. Keluhan tidak berat, stasioner, terutama mengenai penglihatan yang kabur waktu terkena sinar, karena pada waktu ini pupil mengecil, sehingga sinar terhalang oleh kekeruhan di polus anterior. Sinar yang redup tidak terlalu mengganggu, karena pada saat cahaya redup, pupil melebar, sehingga lebih banyak cahaya yang dapat masuk.
Pada umumnya tidak menimbulkan gangguan, stasioner, sehingga tidak memerlukan tindakan operatif. Dengan pemberian midriatika, seperti sulfas atropin 1 % atau homatropin 2 %, dapat memperbaiki visus, karena pupil menjadi lebih lebar, tetapi terjadi pula kerapuhan dari Mm. siliaris, sehingga tidak dapat berakomodasi. Bila gangguan visus hebat, dapat dipertimbangkan iridektomi optis yang dapat dilakukan pada daerah lensa yang masih jernih., bila setelah pemberian midriatika, visus menjadi lebih baik.
3. Katarak polaris posterior (katarak piramidalis posterior)
Terjadi karena resorbsi selubung vaskuler yang tidak sempurna sehingga menimbulkan kekeruhan bagian belakang lensa. Diturunkan secara autosomal dominan, tidak progresif, dan perbaikan tajam penglihatan dapat dilakukan dengan midriatika.
Kekeruhan terletak di polus posterior. Sifat-sifatnya sama dengan katarak polaris anterior. Juga bersifat stasioner, tidak banyak menimbulkan gangguan visus, sehingga tak memerlukan tindakan operasi. Tindakan yang lain sama dengan katarak polaris anterior.

4. Katarak aksialis
Kekeruhan terletak pada aksis lensa. Keluhan dan tindakan sama dengan katarak polaris anterior.

5. Katarak zonularis
Mengenai daerah tertentu, biasanya disertai kekeruhan yang lebih padat, tersusun sebagai garis-garis yang mengelilingi bagian yang keruh dan disebut riders, merupakan tanda khas untuk katarak zonularis. Katarak ini paling sering didapatkan pada anak-anak. Kadang-kadang bersifat herediter dan sering disertai dengan hasil anamnesa kejang-kejang. Kekeruhannya berupa cakram (discus), mengelilingi bagian tengah yang jernih, sedang korteks di luarnya jernih juga. Bisanya progresif, namun lambat. Kadang-kadang keluhan sangat ringan, tetapi kekeruhannya dapat pula menjadi padat, sehingga visus sangat terganggu dan anak tidak dapat lagi sekolah dan membaca, karena hanya dapat menghitung jari.

Kekeruhan lensa pada katarak zonularis terdapat pada zona tertentu
a. Kekeruhan pada nukleus disebut katarak nuklearis
b.Katarak lamelaris, kekeruhan terdapat pada lamella yang mengelilingi area calon nukleus yang masih jernih. Bagian di luar kekeruhan masih jernih. Gambarannya seperti cakram, dengan jari-jari radier. Faktor penyebabnya diduga faktor herediter dengan autosomal dominan. Juga dapat akibat infeksi rubela, hipoglikemia, hipokalsemia, dan radiasi.

6. Katarak stelata
Kekeruhan terjadi pada sutura, dimana serat-serat dari substansi lensa bertemu, yang merupakan huruf Y yang tegak di depan, dan huruf Y yang terbalik di belakang. Biasanya tidak banyak mengganggu visus sehingga tidak memerlukan pengobatan.

7. Katarak totalis
Bila oleh suatu sebab, terjadi kerusakan dari kapsula lensa, sehingga substansi lensa dapat keluar dan diserap, maka lensa semakin menjadi tipis dan akhirnya timbul kekeruhan seperti membran.
Pengobatan: disisi lensa.

8. Katarak kongenital membranasea
Katarak kongenital totalis, disebabkan gangguan pertumbuhan atau akibat peradangan intrauterin. Katarak juvenilis totalis, mungkin herediter atau timbul tanpa dikeahui sebabnya. Pada beberapa kasus ada hubungannya dengan kejang-kejang. Katarak totalis ini dapat terlihat pada mata sehat atau merupakan katarak komplikata dengan disertai kelainan-kelainan pada jaringan lain seperti koroid, retina, dsb. Lensanya tampak putih, rata, keabu-abuan, seperti mutiara. Biasanya cair atau lunak.

6. Penatalaksanaan
Prinsip:
1. Setelah diketemukan katarak maka harus dicari faktor penyebab, apakah galaktosemia, rubela, toksoplasmosis, dll. Pemeriksaan laboratorium dan konsultasi dengan pakar sangat perlu.

2. Dilakukan pembedahan untuk membersihkan lintasan sinar dari kekeruhan. Apabila telah terjadi nistagmus maka pembedahan segera dilakukan. Apabila tidak ada nistagmus, maka pemeriksaan akan memastikan tidak ada gangguan pada matanya. Apabila katarak total, maka segera pembedahan dilakukan di bawah anastesi umum.
Penanganan tergantung pada unilateral dan bilateral, adanya kelainan mata lain, dan saat terjadinya katarak. Katarak kongenital prognosisnya kurang memuaskan bergantung pada bentuk katarak dan mungkin sekali pada mata tersebut telah terjadi ambliopia. Bila terdapat nistagmus, maka keadaan ini menunjukkan hal yang buruk pada katarak kongenital.

Pengobatan katarak kongenital bergantung pada:
1. Katarak total bilateral, dimana sebaiknya dilakukan pembedahan secepatnya segera katarak terlihat.
2. Katarak total unilateral, yang biasanya diakibatkan trauma, dilakukan pembedahan 6 bulan setelah terlihat atau segera sebelum terjadinya strabismus; bila terlalu muda akan mudah terjadi ambliopia bila tidak dilakukan tindakan segera; perawatan untuk ambliopia sebaikanya dilakukan sebaik-baiknya.
3. Katarak total atau kongenital unilateral, mempunyai prognosis yang buruk, karena mudah sekali terjadinya ambliopia; karena itu sebaiknya dilakukan pembedahan secepat mungkin, dan diberikan kacamata segera dengan latihan bebat mata.
4. Katarak bilateral parsial, biasanya pengobatan lebih konservatif sehingga sementara dapat dicoba dengan kacamata atau midriatika; bila terjadi kekeruhan yang progresif disertai dengan mulainya tanda-tanda strabismus dan ambliopia maka dilakukan pembedahan, biasanya mempunyai prognosis yang lebih baik.

Tindakan pengobatan pada katarak kongenital adalah operasi.Operasi katarak kongenital dilakukan bila refleks fundus tidak tampak.Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada usia 2 bulan atau lebih muda bila telah dapat dilakukan pembiusan.
Tindakan bedah pada katarak kongenital yang umum dikenal adalah disisio lensa, ekstraksi liniar, ekstraksi dengan aspirasi.
Terapi bedah untuk katarak infantilis dan katarak pada masa anak-anak dini adalah ekstraksi lensa melakui insisi limbus 3 mm dengan menggunakan alat irigasi-aspirasi mekanis. Jarang diperlukan fakoemulfikasi, karena nukleus lensa lunak. Berbeda dengan ekstraksi lensa pada orang dewasa, sebagian besar ahli bedah mengangkat kapsul posterior dan korpus viterum anterior dengan menggunakan alat mekanis pemotong-penyedot korpus vitreum. Hal ini mencegah pembentukan kekeruhan kapsul sekunder, atau after-cataract (katarak ikutan). Dengan demikian, pengangkatan primer kapsul posterior menghindari perlunya tindakan bedah sekunder dan meningkatkan koreksi optis dini.
Pada katarak kongenital jenis katarak zonularis, apabila visus sudah sangat terganggu, dapat dilakukan iridektomi optis, bila setelah pemberian midriatika visus dapat menjadi lebih baik. Bila tak dapat dilakukan iridektomi optis, karena lensa sangat keruh maka pada anak-anak di bawah umur 1 tahun, disertai fundus yang tak dapat dilihat, dilakukan disisi lensa, sedang pada anak yang lebih besar dilakukan ekstraksi linier. Koreksi visus pada anak dapat berarti, bila anak itu sudah dapat diperiksa tes visualnya. Iridektomi optis, mempunyai keuntungan, bahwa lensa dan akomodasi dapat dipertahankan dan penderita tidak usah memakai kacamata yang tebal (sferis [+] 10 dioptri).
Pada katarak kongenital membranasea yang cair (umur kurang dari 1 tahun), dilakukan disisi lensa. Pada katarak yang lunak (umur 1-35 tahun) dilakukan ekstraksi linier. Pada katarak yang keras (umur lebih dari 35 tahun), dilakukan ekstraksi katarak intrakapsuler. Cara operasi yang mutakhir dengan fakoemulfikasi.

Disisi Lensa: (Needling)
Pada prinsipnya adalah kapsul lensa anterior dirobek dengan jarum, massa lensa diaduk, massa lensa yang masih cair akan mengalir ke bilik mata depan. Selanjutnya dibiarkan terjadi resorbsi atau dilakukan evakuasi massa.

Indikasi dilakukannya disisi lensa
a) Umur kurang dari 1 tahun
b) Pada pemeriksaan, fundus tak terlihat.

Penyulit disisi lensa:
1.Uveitis fakoanafilaktik
Terjadi karena massa lensa merupakan benda asing untuk jaringan sehingga menimbulkan reaksi radang terhadap massa lensa tubuh sendiri.
2.Glaukoma sekunder,
Timbul karena massa lensa menyumbat sudut bilik mata, sehingga mengganggu aliran cairan bilik mata depan.
3.Katarak sekundaria
Dapat terjadi bila massa lensa tidak dapat diserap dengan sempurna dan menimbulkan jaringan fibrosis yang dapat menutupi pupil sehingga mengganggu penglihatan dikemudian hari sehingga harus dilakukan disisi katarak sekundaria, untuk memperbaiki visusnya.

Disisi lensa sebaiknya dilakukan sedini mungkin, karena fovea sentralisnya harus berkembang waktu bayi lahir sampai umur 7 bulan. Kemungkinan perkembangan terbaik adalah pada umur 3-7 bulan. Syarat untuk perkembangan ini fovea sentralis harus mendapatkan rangsang cahaya yang cukup. Jika katarak dibiarkan sampai anak berumur lebih dari 7 bulan, biasanya fovea sentralisnya tak dapat berkembang 100 %, visusnya tidak akan mencapai 5/5 walaupun dioperasi. Hal ini disebut amliopia sensoris (ambliopia ex anopsia). Jika katarak itu dibiarkan sampai umur 2-3 tahun, fovea sentralis tidak akan berkembang lagi, sehingga kemampuan fiksasi dari fovea sentralis tak dapat lagi tercapai dan mata menjadi goyang (nistagmus), bahkan dapat terjadi pula strabismus sebagai penyulit. Jadi sebaiknya operasi dilakukan sedini mungkin, bila tidak didapat kontraindikasi untuk pembiusan umum. Operasi dilakukan pada satu mata dulu, bila mata ini sudah tenang, mata sebelahnya dioperasi pula, jika kedua mata sudah tenang, penderita dapat dipulangkan.
Pada katarak kongenital yang mononukelar dan dibedah dini, disertai pemberian lensa kontak segera setelah pembedahan, dapat menghindari gangguan perkembangan penglihatan.

Ekstraksi Linier
Pada prinsipnya yang dilakukan adalah bilik mata depan ditembus dan kapsul anterior lensa dirobek dan massa lensa dievakuasi serta dibilas dengan larutan Ringer Laktat.

Penyulit
Pada katarak kongenital total penyulit yang dapat terjadi adalah makula lutea yang tidak cukup mendapat rangsangan. Makula ini tidak akan berkembang sempurna hingga walaupun dilakukan ekstraksi katarak maka visus biasanya tidak akan mencapai 6/6. Hal ini disebut ambliopia sensoris (ambyopia ex anopsia). Katarak kongenital dapat menimbulkan komplikasi lain berupa nistagmus dan strabismus.
Untuk menghilangkan katarak dilakukan pembedahan lensa. Hasil pembedahan pada katarak kongenital biasanya kurang memuaskan. Hal ini disebabkan terjadinya banyak penyulit pembedahan atau terdapat kelainan mata lain atau susunan syaraf pusat.
Akibat terdapatnya masalah pada rehabilitasi katarak kongenital sering pembedah mengambil keputusan untuk tidak membedah atau memperlakukan katarak kongenital secara konservatif.
Pada bayi bila terjadi gangguan visus dini, maka akan dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada syaraf penglihat yang disebut ambliopia eksanopia. Akibatnya dianjurkan untuk melakukan pembedahan pada katarak sedini mungkin atau pada bayi baru beberapa minggu.
Penyulit pembedahan lainnya adalah timbulnya uveitis pasca bedah katarak, oleh karena itu prognosis buruk
7. Prognosis
Dengan menggunakan teknik-teknik bedah canggih saat ini, penyulit intra-operasi dan pasca-operasi serupa dengan yang terjadi pada tindakan untuk katarak dewasa. Dengan pengalaman, ahli bedah katarak anak-anak dapat mengharapkan hasil teknik yang baik pada lebih dari 90 % kasus. Koreksi optik sangat penting bagi bayi dan memerlukan usaha besar oleh ahli bedah dan orang tua pasien. Koreksi tersebut dapat berupa kacamata untuk anak-anak harus diikuti dengan koreksi lensa kontak. Epikeratofakia tampaknya memberi harapan untuk mengkoreksi afakia pada pasien pediatrik yang tidak dapat mentoleransi lensa kontak
.

Prognosis penglihatan untuk pasien katarak anak-anak yang memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali syaraf optikus atau retina membatasi tingkat pencapaian penglihatan pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk perbaikan ketajaman penglihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang progresif lambat.
Hasil pembedahan katarak kongenital biasanya kurang memuaskan, karena banyak penyulit pembedahan atau adanya kelainan-kelainan kongenital lainnya di mata yang menyertainya.
Pada monokular katarak yang dibedah dini disertai dengan pemberian lensa kontak segera akan menghindari gangguan perkembangan penglihatan. Dikatakan untuk mencapainya maka sebaiknya katarak kongenital dilakukan pembedahan sebelum bayi berusia 4 bulan.
Pada bayi pemakaian lensa kontak masih merupakan masalah Pembedahan katarak kongenital sesudah berusia 4 bulan biasanya tidak efektif lagi.


DAFTAR PUSTAKA


1. htpp://www.infomedika.com:Katarak, Jakarta Eye Center, Thursday, 5 June 2008.

2. http://www.medicastore.com/: Katarak kongenital.

3.Ilyas, Sidarta, Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke-2, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000

4.Vaughan DG, Asbury T. Lensa. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Alih Bahasa Tambajong J, Pendit UB. Widya Medika. Jakarta, 2000 : 175,183-4.

5. Wijana, Nana S.D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke-6, Penerbit Abadi Tegal, Jakarta, 1993

BATU SALURAN KEMIH

1.1 Latar Belakang
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atauinfeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih).
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan zaman Mesir kuno karena telah ditemukan batu di antara tulang panggul kerangka mummi dari seorang mummi berumur 16 tahun. Mummi ini diperkirakan sekitar 7000 tahun.
Penyakit ini dapat menyerang semua penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari.
Di Indonesia maupun di dunia penyakit batu saluran kemih merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna,. Prevalensi penyakit batu saluran kemih diperkirakan sebesar 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa. Prevalensi batu saluran kemih di Amerika bervariasi tergantung pada ras, jenis kelamin dan lokasi geografis. Empat dari lima pasien adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian batu saluran kemih di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar 19.018 orang, dengan jumlah kematian adalah sebesar 378 orang.
Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih. Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak di bidang urologi di samping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.
Dalam memilih pendekatan terapi optimal untuk pasien urolithiasis, berbagai faktor harus dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran, jumlah, komposisi dan lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction, divertikel kaliks, ginjal tapal kuda), dan faktor pasien (adanya infeksi, obesitas, deformitas habitus tubuh, koagulopati, anak-anak, orang tua, hipertensi dan gagal ginjal).
Kemajuan dalam bidang endourologi telah secara drastis mengubah tatalaksana pasien dengan batu simtomatik yang membutuhkan operasi terbuka untuk pengangkatan batu. Perkembangan terapi invasif minimal mutakhir, yaitu retrograde ureteroscopic intrarenal surgery (RIRS), percutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS) dan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) telah memicu kontroversi mengenai teknik mana yang paling efektif.
ESWL merupakan terapi non invasif yang menggunakan gelombang kejut berintensitas tinggi. Gelombang ini dibangkitkan di luar tubuh pasien lalu ditembakkan ke batu ginjal atau ureter. Sejak ESWL diperkenalkan pada tahun 1980-an, teknologi dalam bidang litotripsi gelombang kejut telah sangat berkembang. Kemajuan dalam teknologi ESWL dipusatkan ke arah peningkatan peralatan pencitraan (imaging), pengembangan sumber energi ESWL, pengembangan suatu alat yang dapat berfungsi sebagai litotriptor dan meja tindakan endourologi, serta usaha untuk mengurangi tekanan gelombang kejut sehingga mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakan pasien dan memungkinkan prosedur ESWL tanpa mengunakan anestesi.



1.2 Anatomi Traktus Urinarius
Organ urinaria terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli dan uretra.

Gambar 1 : Anatomi Sistem Urinaria1

Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di retroperitoneal bagian atas. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut dengan kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Glandula adrenal bersama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fascia gerota, yang berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu juga berfungsi menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastatis tumor ginjal ke organ disekitarnya.2
Secara anatomi ginjal dibagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula. Didalam korteks terdapat berjuta-juta nefron dan dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Darah yang membawa sisa-sisa metabolisme tubuh difiltrasi di glomerulus kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsopsi dan zat-zat sisa hasil metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Urin yang terbentuk dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk dialirkan ke ureter. 2
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara kedalam vena cava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan di salah satu arteri ini, akan berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada daerah yang dilayaninya. 2

Ureter
Merupakan organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam buli-buli.2
Jika karena suatu sebab terjadi sumbatan pada aliran urin, terjadilah kontraksi otot polos yang berlebihan yang bertujuan mendorong/mengeluarkan sumbatan tersebut dari saluran kemih. Kontraksi itu dirasakan sebagai nyeri kolik yang datang secara berkala, sesuai dengan irama peristaltik ureter. 3
Terdapat beberapa tempat penyempitan di ureter diantaranya2 :
1. Pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter
2. Tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis
3. Pada saat ureter masuk ke buli-buli
Pembagian ureter secara anatomi perlu diketahui karena berkaitan dengan tatalaksana batu ureter. Ureter dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ureter atas, mulai dari ureteropelvic junction sampai ke tepi atas os ileum, ureter tengah yaitu mulai dari tepi atas os ileum sampai ke tepi atas sacroileal joint dan ureter bawah, mulai dari tepi atas sacroileal joint sampai ke orifisium ureter. Pembagian ureter menjadi tiga bagian ini terutama berkaitan dengan pendekatan bedah untuk mengangkat batu.2,4



Buli - buli
Buli-buli berfungsi menampung urin dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi. Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat penuh berada di atas simfisis sehinggat dapa di palpasi dan perkusi. Buli-buli yang terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivitas pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4. Hal ini meyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli dan relaksasi dari sfingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.2

Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Secara anatomi uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatis posterior. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot lurik yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.2,3

1.3 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).
Dalam bahasa medis disebut Urolithiasis yaitu penyakit yang ditandai oleh pembentukan batu dalam saluran kemih, Kebanyakan batu terbentuk dalam ginjal, dan sering disebut sebagai batu ginjal. Batu yang terbentuk akan menumpuk di dalam saluran ginjal, dan sebagian akan ikut mengalir bersama air kemih ke saluran kencing hingga kandung kemih.
Belum ada kesepakatan mengenai definisi batu cetak/ staghorn ginjal. Definisi yang sering dipakai adalah batu ginjal yang menempati lebih dari satu collecting system, yaitu batu pielum yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Istilah batu cetak/ staghorn parsial digunakan jika batu menempati sebagian cabang collecting system, sedangkan istilah batu cetak/staghorn komplit digunakan batu jika menempati seluruh collecting system.

1.4 Patofisiologi
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, sriktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.2
Pada kebanyakan penderita batu kemih ditemukan penyebab yang jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi dan benda asing. Infeksi, stasis dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau disebut sirkulus visiosus. Jaringan abnormal atau mati seperti pada nekrosis papilla di ginjal dan benda asing mudah menjadi nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu. Batu idiopatik disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor. Misalnya batu urat pada anak di negara yang sedang berkembang. Faktor yang memegang peran kausal ialah dehidrasi dan gastroenteritis. Faktor ini mengakibatkan oliguria dengan urin yang mengandung kadar tinggi asam urin dan ikatan kimia lain. Faktor lain ialah imobilisasi lama pada penderita cedera dengan fraktor multiple atau paraplegi yang menyebabkan dekalsifikasi tulang dengan peningkatan ekskresi kalsium dan stasis, sehingga presipitasi batu mudah terjadi. Pada sebagian kecil penderita batu saluran kemih didapatkan kelainan kausal yang menyebabkan ekskresi berlebihan bahan dasar batu seperti yang terjadi pada hiperparatiroidisme, hiperkalsiuria, artritis urika dan sistinuria.2
Batu terdiri dari kristal-kristal yang tersusun dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengalami presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristl yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.2
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut dalam urin, laju aliran urindi dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.2
Labih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat sedangkan, sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun pathogenesis pembentukan batu-batu di atas hampir sama, tetapi suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Dalam hal ini misalnya batu asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam, sedangkan batu magnesium ammonium fosfat terbentuk karena urin bersifat basa.2
Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan juga oleh adanya keseimbangan at-zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat-zat yang mencegah timbulnya batu. Dikenl beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih, yang mulai dari proses reabsorbsi kalsium di dalam usus, proses pembentukan inti batu atau Kristal, proses agregasi Kristal, hingga retensi Kristal.2
Ion magnesium dikenal dapat menghambat pembentukan batu karena jika berikatan dengan ion oksalat, membentuk garam magnesium oksalatsehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsiumuntuk membentuk kalsium oksalat menurun. Demikian pula sitrat jika berikatan dengan ion kalsium membentuk garam kalsium sitrat; sehingga jumlah kalsiu yang akan berikatan dengan oksalat ataupun fosfat akan berkurang. Hal ini menyebabkan Kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat jumlahnya berkurang.2
Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat agregasi kristal, maupun menghambat retensi Kristal. Senyawa ini antara lain adalah: glikosaminoglikan (GAG), protein Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid, nefrokalsin, dan osteopontin. Definisi zat-zat yang berfungsi sebagai inhibitor batu merupakan salah satu factor penyebab timbulnya batu saluran kemih.2


1.5 Etiologi
Etiologi pembentuk batu saluran kemih diduga ada kaitannya dengan gangguan aliran air kemih (urin), gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi yang kronis, kelainan bentuk saluran kemih (bawaan). Lebih dari 80% penyebab batu tak diketahui, dan dianggap bahwa penderita itu tubuhnya mempunyai bakat membentuk batu saluran kemih.4
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang.2
1. Faktor instrinsik
 Herediter
 Usia : paling sering pada usia 30-50 tahun
 Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan perempuan

2. Faktor ekstrinsik
 Geografi : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika selatan hampir tidak dijumpai batu saluran kemih.
 Iklim dan temperature.
 Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insidensi batu saluran kemih
 Diet : diet banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih.
 Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya terlalu banyak duduk atau kurang aktifitas atau sedentary life.


1.6 Klasifikasi
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur : kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xhantyn, sistin, silikat, dan senyawa lain. data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.2

Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang dari 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur itu.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya batu kalsium adalah :
1. Hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium dalam urin lebih besar dari 250-300 mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdaat tiga macam penyebab terjadinya hiperkalsiuri, antara lain :
- Hiperkalsiuri absortif yang terjadi karena adanya peningkatan absorbs kalsium melalui usus
- Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal
- Hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi kalsium tulang yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.

2. Hiperoksaluri, adalah ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram per hari. Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien yang benyak mengkonsumsi makanan yang kaya akan oksalat, di antaranya adalah the, kopi instan, minum soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran yang berwarna hijau terutama bayam.

3. Hiperurikosuria, adalah kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urin bertindak sebagai inti batu/nidud untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam urat di dalam urin berasal dari makanan yang mengandung banyak purin maupun berasal dari metabolism endogen.

4. Hipositrauria. Di dalam urin, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat, sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Hal ini dimungkinkan karena ikatan kalsium sitrat lebih mudah larut daripada kalsium oksalat.oleh karena itu, sitrat dapat bertindak sebagai penghambat pembentukan batu kalsium.
Hipositrauria dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal atau renaltubluar acidosis, sindrom malabsorbsi, atau pemakaian diuretic golongan thiazide dalam jangaka waktu lama.

5. Hipomagnesiuria. Seperti halnya pada sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium, karena di dlaam urin, magnesium bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencagah ikatan kalsium dengan oksalat. Penyebab
yang diikuti gangguan malabsorbsi.2


Batu Struvit
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urin menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti pada reaksi :
CO(NH2)2 + H2O  2NH3 + CO2
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium, ammonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium ammonium fosfat (MAP) atau (Mg NH4 PO4 H2O dan NH4+) batu jenis ini dikenal sebagai batu triple-phosphate.
Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea di antaranya adalah : Proteus sp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus. Meskipun E coli banyak menimbulkan infeksi saluran kemih tetapi kuman ini bukan termasuk pemecah urea.2

Batu Asam Urat
Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Di antaranya 75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien-pasien penyakit gout, penyakit mieloproliferatif, pasien yang mendapat terapi antikanker dan yang banyak mempergunakan obat urikosurik di antaranya sulfinpirazone, thiazide, dan salisilat. Kegemukan dan peminum alkohol, dan diet tinggi protein mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penyakit ini.2
Sumber asam urat berasal dari diet yang mengandung purin dan metabolism endogen di dalam tubuh. Degradasi purin di dalam tubuh melalui asam inosinat dirubah menjadi hipoxantin. Dengan bantuan enzim xhantin oksidase, hipoxanthin dirubah menjadi xanthin yang akhirnya dirubah menjadi asam urat. Pada mamalia lain selain manusia dan dalmation, mempunyai enzim urikase yang dapat merubah asam urat menjadi allantoin yang larut di dalam air. Pada manusia karena tidak mempunyai enzim itu, asam urat diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk asam urat bebas dan garam urat yang lebih sering berikatan dengan natrium membentuk natrium urat. Natrium urat lebih mudah larut di dalam air dibandingkan dengan asam urat bebas, sehingga tidak mungkin mengadakan kristalisasi di dalam urin.2
Asam urat relative tidak larut di dalam urin sehingga pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk Kristal asam urat, dan selanjutnya adalah (1) urin yang terlalu asam (pH urin <6), (2) volume urin yang jumlahnya sedikit (<2 L/hari) atau dehidrasi, dan (3) hiperurikosuria atau kadar asam urat yang tinggi.2
Ukuran batu asam urat bervariasi, mulai dari ukuran kecil samapi ukuran besar sehingga membentuk batu staghorn yang mengisi seluruh pelvikalises ginjal. Tidak seperti batu jenis kalsium yang bentuknya bergerigi, batu asam urat bentuknya halus dan bulat sehingga seringkali keluar spontan. Batu asam urat murni bersifat radiolusen, sehingga pada pemeriksaan PIV tampak sebagai banyangan filling defect pada seluran kemih sehingga seringkali harus dibedakan dengan bekuan darah, bentukan papilla ginjal yang nekrosis, tumor, atau bezoar jamur. Pada pemeriksaan USG memberikan gambaran banyangan akustik (acoustic shdowing).2
Untuk mencegah timbulnya kembali batu asam urat setelah terapi adalah : minum banyak, alkalinisasi urin dengan mempertahankan pH di antara 6,5-7, dan menjaga jangan terjadi hiperurikosuria dengan mencgah terjadinya hiperurisemia. Setiap pagi pasien dianjurkan untuk memeriksa pH urin dengan kertas nitrazin, dan dijaga supaya produksi urin tidak kurang dari 1500-2000 mL setiap hari. Dilakukan pemeriksaan kadar asam urat secara berkala, dan jika terjadi hiperurisemia harus diterapi dengan obat-obatan inhibitor xanthin oksidase, yaitu allopurinol.2

Batu Jenis Lain
Batu sistin, batu xanthin, batu triamteren, dan batu silikat sangat jarang dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolism sistin, yaitu kelainan dalam absorbs sistin di mukosa usus. Demikian batu xanthin terbentuk karena penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalis perubahan hipoxanthin menjadi xanthin dan xanthin menjadi asam urat. Pemakaian antasida yang mengandung silikat (magnesium silikat atau aluminometilsalisilat) yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan timbulnya batu silikat.2

Batu Ginjal dan Batu Ureter
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu stoghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis ureteropelvik) mempermudah timbulnya batu saluran kemih.2
Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltic ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga ke buli-buli. Batu yang ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan, sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi keradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau hidronefrosis.2
Batu yang terletak pada ureter maupun sistem pelvikalises mampu menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur saluran kemih sebelah atas. Obstruksi di ureter menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis, batu di pielum dapat menimbulkan hidronefrosis, dan batu di kaliks mayor dapat menimbulkan kaliekstasis pada kaliks yang bersangkutan. Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat menimbulkan pielonefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kerusakan ginjal, dan jika mengenai kedua sisi mengakibatkan gangguan ginjal permanen.2

1.7 Gejala Klinis
Pada tahap awal batu saluran kemih tidak memberikan keluhan yang khas, bahkan pada beberapa penderita tidak ada keluhan sama sekali. Batu sangat berbahaya karena baru dapat diketahui setelah terjadi kerusakan ginjal yang hebat, contohnya adalah batu yang berbentuk tanduk rusa (staghorn). Batu jenis ini mengisi seluruh rongga dalam ginjal dan hampir tidak bergerak sehingga tidak terasa nyeri. Keluhan baru akan timbul setelah terjadi sumbatan (obstruksi), infeksi ataupun kombinasi keduanya.2,4

Keluhan atau gejala gejala yang dapat dikenali antara lain 4:
1. Nyeri:
Sumbatan maupun infeksi akan memberikan gejala nyeri. Sifat dan intensitas nyeri bervariasi dari rasa kemeng sampai kolik. Lokasi dan penjalaran nyeri kolik ini bisa di punggung atau pinggang dan turun ke lipat paha atau pada pinggang menjalar ke perut depan. Keluhan hebat ini bisa hilang timbul sering disertai gejala lain seperti berkeringat, tekanan darah turun sampai syok, pusing, berdebar debar, air kemih berkurang atau bahkan tidak bisa keluar yang disebahkan oleh sumbatan.6
Nyeri ini mungkin bisa berupa nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sitem kalises ataupun ureter menigkat dalan usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri nonkolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.2
Batu yang terletak distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero-pelvik, saat ureter menyiilang vasa iliaka, dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli.2

2. Kencing Tidak lancar

3. Air kemih berwarna kemerahan :
Air kemih berwarna kemerahan karena tercampur oleh darah dari saluran kemih yang terkena goresan batu yang keras ataupun kerusakan dinding lapisan dalam saluran kemih.4

4. Demam dan atau kedinginan atau menggigil :
Peningkatan suhu tubuh sering diakibatkan oleh infeksi kuman dan kerusakan ginjal, yang mana hal ini dapat merupakan keadaan gawat yang dapat mengancam keselamatan penderita.2
Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu urosepsis dan ini merupakan kedaruratan di beidang urologi. Dalam hali ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dna segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotika.2
Klinis pasien dengan kolik ginjal biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah dan demam, serta mungkin mempunyai riwayat penyakit batu. Diagnosis klinis haruslah ditunjang oleh pemeriksaan pencitraan yang sesuai. Hal ini akan membantu memutuskan apakah cukup dengan terapi konservatif atau dibutuhkan terapi lain. 2,4
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai mempunyai batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%) merupakan batu radioopak. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan melalui radiografi. Pemeriksaan rutin meliputi foto abdomen dari ginjal, ureter dan kandung kemih (KUB) ditambah USG atau excretory pyelography (Intravenous Pyelography, IVP). Excretory pyelography tidak boleh dilakukan pada pasien dengan alergi media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan metformin, dan myelomatosis.2,4
Pemeriksaan radiologi khusus yang dapat dilakukan meliputi : 2,4
• Retrograde atau antegrade pyelography
• Spiral (helical) unenhanced computed tomography (CT)
• Scintigraphy

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan paling sering dijumpai di antara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat non-opak (radiolusen).
IVP bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi- opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika IVP dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai gantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograde.
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pielonefrosis, atau pengkerutan ginjal.
CT Scan tanpa kontras (unenhanced) merupakan pemeriksaan terbaik untuk diagnosis nyeri pinggang akut, sensitivitasnya mencapai 100% dan spesifisitas 98%. CT Scan tanpa kontras tersedia luas di negara-negara maju dan juga dapat memberikan informasi mengenai abnormalitas di luar saluran kemih. IVP memiliki sensitivitas 64% dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu cukup lama dan harus dilakukan dengan hati-hati karena kemungkinan alergi terhadap kontras. 4

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi: sedimen urin / tes dipstik untuk mengetahui sel eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH urin. Untuk mengetahui fungsi ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada keadaan demam, sebaiknya diperiksa C-reactive protein, hitung leukosit sel B, dan kultur urin. Pada keadaan muntah, sebaiknya diperiksa natrium dan kalium darah. Untuk mencari faktor risiko metabolik, sebaiknya diperiksa kadar kalsium dan asam urat darah.4
dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran, jumlah, komposisi dan lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction, divertikel kaliks, ginjal tapal kuda), dan faktor pasien (adanya infeksi, obesitas, deformitas habitus tubuh, koagulopati, anak-anak, orang tua, hipertensi dan gagal ginjal).4

1.9 Penatalaksanaan
Indikasi untuk melakukan tindakan aktif ditentukan berdasarkan ukuran, letak dan bentuk dari batu. Kemungkinan batu dapat keluar spontan juga merupakan bahan pertimbangan. Batu berukuran kurang dari 5 mm mempunyai kemungkinan keluar spontan 80%. Tindakan aktif umumnya dianjurkan pada batu berukuran lebih dari 5 mm terutama bila disertai :6
a. Nyeri yang persisten meski dengan pemberian medikasi yang adekuat
b. Obtruksi yang persisten dengan risiko kerusakan ginjal
c. Adanya infeksi traktus urinarius
d. Risiko pionefrosis atau urosepsis
e. Obstruksi bilateral

Faktor penting yang juga menjadi pertimbangan adalah ketersediaan alat, prasarana, sarana dan kemampuan ahli urologi dalam melakukan modalitas terapi yang ada. Apa yang dicantumkan dalam pedoman ini sebagai standar, rekomendasi ataupun opsional adalah jika alat, prasarana, sarana dan kemampuan operator memungkinkan untuk melakukan modalitas terapi yang disarankan.6
1. Manajemen Observasi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, mayoritas batu ureter cukup kecil sehingga dapat lewat spontan tanpa menimbulkan keluhan/gejala klinis yang berarti. Untuk batu-batu seperti ini, observasi merupakan pilihan terapi yang terbaik. Pasien diinstruksikan untuk meningkatkan asupan cairan sedikitnya 3 liter/hari, yang bertujuan untuk mempertahankan produksi urin sebanyak 2500 ml/hari. Pasien harus membatasi asupan oksalat dan natrium, juga restriksi protein hewani. Obat – obatan yang digunakan untuk mengatasi kolik sementara sebelum batu lewat mencakup analgesik narkotik dan obat anti inflamasi non steroid.2,4
Dalam pertimbangan awal apakah akan memilih atau menolak intervensi, ukuran dan lokasi batu merupakan faktor utama. Batu dengan lebar ≤ 5 mm di ureter proksimal memiliki kemungkinan 70-80% untuk mengalami pengeluaran spontan dan kemungkinan ini akan lebih besar apabila batu tersebut terletak di ureter distal.4,6
Namun, ukuran mungkin pula bukan merupakan faktor terpenting jika pasien mengalami nyeri yang tak tertahankan. Dalam kasus ini, terapi yang terbaik adalah intervensi, tanpa memperhitungkan ukuran batu. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka ginjal berisiko mengalami pielonefritis dan atau pionefrosis sehingga perlu dilakukan terapi segera, tanpa memperhitungkan ukuran batu.4
Faktor lain adalah derajat penyumbatan. Sebuah contoh yang ekstrim, pasien dengan batu asimtomatik di ureter distal tanpa obstruksi dapat diobservasi selama satu tahun atau lebih sebelum akhirnya batu lewat atau diambil keputusan untuk terapi aktif. Pasien dengan fungsi renal mendekati ambang batas, ginjal soliter, dan ginjal transplantasi tidak dapat bertahan terhadap obstruksi ringan sekalipun.4
Irving, Calleja, Lee et al. melakukan uji klinis terhadap pasien dengan batu ureter unilateral simtomatik, yang direkrut saat datang ke unit gawat darurat dengan keluhan kolik ureter. Kriteria batu yaitu radioopak, telah dipastikan terletak dalam ureter dan diameter ≥ 5mm. Kriteria inklusi untuk pasien adalah fungsi ginjal yang baik (dengan renografi), nyeri terkontrol dengan analgesia oral dan tidak ada tanda sepsis urologik. Posisi batu dikonfirmasi menggunakan urografi kontras. Renogram dengan radioisotop MAG3 dilakukan dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan 1 bulan setelah bebas batu. Indikasi untuk intervensi adalah kehilangan fungsi (≥ 5%) ipsilateral, infeksi, nyeri atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Dari 54 pasien yang direkrut (18 batu ureter sepertiga atas, 12 ureter tengah dan 24 sepertiga bawah), terapi konservatif dilakukan pada 18 pasien, namun pada perjalanan, 4 pasien memerlukan intervensi dikarenakan keluhan nyeri. Pasien lain memerlukan intervensi segera karena nyeri (8 pasien), penurunan fungsi ginjal (15), dan penurunan fungsi ginjal disertai infeksi (13). Hasilnya, tidak ada batu >7mm yang keluar tanpa intervensi. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa manajemen konservatif untuk batu berdiameter 5-7 mm adalah aman, dengan syarat dilakukan renografi radioisotop untuk mengidentifikasi ginjal yang memerlukan intervensi.4
Pekerjaan pasien juga dapat menjadi pertimbangan dalam memilih terapi. Misalnya, bila pasien sering melakukan perjalanan jauh atau menghabiskan banyak waktu di negara asing, terapi aktif dapat dipertimbangkan bahkan untuk batu asimtomatik.4

2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) telah menjadi metode yang paling sering digunakan dalam tatalaksana aktif batu ureter. ESWL didasarkan pada prinsip bahwa gelombang kejut bertekanan tinggi akan melepaskan energi ketika melewati area-area yang memiliki kepadatan akustik berbeda. Gelombang kejut yang dibangkitkan di luar tubuh dapat difokuskan ke sebuah batu menggunakan berbagai teknik geometrik. Gelombang kejut melewati tubuh dan melepaskan energinya saat melewati sebuah batu. Tujuan dari metode ini adalah untuk memecah batu menjadi partikel-partikel yang cukup kecil sehingga dapat melewati ureter tanpa menimbulkan nyeri yang berarti.4,6




3. Endourologi
Ureterorenoskopi (URS)
Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara dramatis manajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan bersama dengan litotripsi ultrasonik, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser dan litotripsi pneumatik agar memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat dilakukan dengan ekstraksi keranjang di bawah pengamatan langsung dengan fluoroskopi. Litrotipsi dalah suatu tindakan memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (littriptor) ke dalam buli-buli. Pemecahan batu dikeluarkan dengan evakuator ellik.4,6
Perkembangan dalam bidang serat optik dan sistem irigasi menghasilkan alat baru yaitu ureteroskop semirigid yang lebih kecil. (6,9 sampai 8,5 F). Penemuan miniskop semirigid dan ureteroskop fleksibel membuat kita dapat mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal secara lebih aman. Namun, keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini adalah sempitnya saluran untuk bekerja.4
Saat ini, pilihan alat tergantung dari lokasi batu, komposisi batu dan pengalaman klinikus, serta ketersediaan alat.4,6
Percutaneus Nephrolithotomy (PNL)
Prosedur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu akses perkutan dan pengangkatan batu. Untuk mencapai akses perkutan, urolog atau radiolog memasang kabel penuntun fleksibel berukuran kecil di bawah kontrol fluoroskopi melalui pinggang pasien ke dalam ginjal lalu turun ke ureter. Jika akses sudah diperoleh, saluran dilebarkan sampai ukuran 30 F dan dimasukkan selongsong, lalu nefroskop atau ureteroskop rigid / fleksibel dimasukkan melalui selongsong. Dengan tuntunan fluoroskopi dan endokamera, batu diangkat secara utuh atau setelah dipecahkan menggunakan litotripsi intrakorporal.4
PNL memiliki keuntungan sebagai berikut : (1) Jika batu dapat dilihat, hampir dipastikan batu tersebut dapat dihancurkan. (2) Dengan alat fleksibel, ureter dapat dilihat secara langsung sehingga fragmen kecil dapat diidentifikasi dan diangkat. (3) Proses cepat, dengan hasil yang dapat diketahui saat itu juga.4
Perawatan di rumah sakit biasanya 3 sampai 5 hari, pasien dapat kembali melakukan aktivitas ringan setelah 1 sampai 2 minggu. Angka transfusi PNL sekitar 2-6%. Angka perawatan kembali, yaitu angka dimana instrumen harus dimasukkan kembali untuk mengangkat batu yang tersisa bervariasi dari 10% sampai 40-50%. Angka bebas batu adalah 75-90%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perdarahan, infeksi, dan fistula arteri-vena.4
4. Pembedahan Terbuka
Berbagai variasi operasi spesifik dapat dilakukan untuk mengangkat batu ureter. Bergantung pada anatomi dan lokasi batu, ureterolitotomi dapat dilakukan melalui insisi samping, dorsal atau anterior. Saat ini, ureterolitotomi sudah jarang dilakukan, kecuali pada kasus dimana batu berukuran besar atau pasien memiliki kelainan anatomi ginjal atau ureter.2,4,6
Tidak jarang pasien juga menjalani tindakan nefrektomi karen ginjal sudah tidak berfungsi dab berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi dan infeksi menahun.4
Perawatan di rumah sakit berkisar antara 2 sampai 7 hari. Disabilitas pasca operasi berkisar antara 4 sampai 6 minggu.4

Stenting
Stenting bukanlah pilihan utama, namun memegang peranan penting sebagai terapi tambahan pada hampir semua tatalaksana batu ureter. Misalnya, pasien dengan sepsis dan obstruksi membutuhkan drainase internal (menggunakan Double J stent) atau drainase eksternal (menggunakan nefrostomi perkutan). 4
Usaha pencegahan yang bisa dilakukan pada umumnya meliputi empat hal yaitu 4,6:
o Menghindari kekurangan cairan dalam tubuh dengan minum cukup air dan diusahakan air kencing yang dihasilkan sebanyak 2 – 3 liter per hari.
o Diit makanan untuk mengurangi kadar zat komponen pembentuk batu sesuai dengan jenis batu yang pernah diderita sebelumnya. Aktivitas harian dan olah raga yang cukup. Sebaiknya olah raga yang loncat-loncat atau lari dan dilakukan secara teratur, setiap hari atau minimal tiga kali dalam seminggu
o Minum yang banyak, untuk tempat yang panas seperti Balikpapan dianjurkan untuk minum sebanyak 2,5 sampai 3 liter dalam 24 jam. Urin harus berwarna putih. Bila urin kuning pekat, berarti kurang minum.
o Bila pernah mengidap batu saluran kemih, sebaiknya kontrol teratur karena batu selalu bisa kambuh.

Guidline managemen kegawatdaruratan :9
• Setelah mendiagnosa kolik renal atau ureter, tentukan ada atau tidak adanya infeksi atau obstruksi
• Obstruksi tanpa adanya infeksi pada awalnya bisa diberi dengan analgetik dan pengobatan lainnya untuk memngeluarkan batu. infeksi yang tanpa disertai obtruksi diberi antimikroba. Kemudian dikonsulkan ke urologi.
• Jika tidak terdapat obstruksi maupun infeksi diberi analgetik dengan harapan batu akan keluar spontan pada batu ukuran < 5mm
• Jika terdapat obtruksi dan infeksi merupakan kasus emergensi dan dekompresi kegawatdaruratan dianjurkan.

II. KESIMPULAN

Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atauinfeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih).
Pada kebanyakan penderita batu kemih ditemukan penyebab yang jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi dan benda asing. Infeksi, stasis dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau disebut sirkulus visiosus.
Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan urolithiasis adalah nyeri yang berasal dari peregangan kapsul ginjal atau nyeri kolik karena batu yang terdapat dalam lumen yang menimbulkan nyeri hilang timbul sesuai gerak peristaltik dari ureter, hematuria akibat luka dari gesekan batu yang merusak lumen, dan demam yang merupakan tanda-tanda kegawatdaruratan dari urosepsis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi yang meliputi BNO-IVP, USG, CT-Scan, dan retropielograd pada pasien dengan kadar ureum dan kreatinin yang tinggi pada pemeriksaan laboratorium.
Untuk penanganan yang komprehensif sangat dibutuhkan pada penderita batu saluran kemih untuk menghindari komorbiditas yang lebih parah dengan melalukan usaha- usaha pencegahan. Penatalaksanaan dapat melalui tindakan observasi gaya hidup pasien yang menjadi faktor predisposisi terjadinya batu, ESWL, endourologi, dan pembedahan terbuka.
Prognosis bagi penderita batu saluran kemih tergantung dari cepatnya kesadaran dari pasien dan tindakan medis yang berkesinambungan untuk mencegah perkembangan pada keadaan yang lebih kompleks.


Daftar Pustaka

1. Anonim. 2010. Anatomi Urinary System. visual.merriam-webster.com. Diakses tanggal 9 Februari.
2. Purnomo, Basuki. B. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta.
3. Schwartz, dkk. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
4. HTA Indonesia. 2005. Penggunaan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy pada Batu Saluran Kemih. www.iaui.or.id/ast/file/batu_saluran_kemih. Hal. 9-8. Diakses tanggal 9 Februari.
5. Anonim. 2009. Batu Ginjal. www.myasti.files.wordpress.com. Diakses tanggal 9 Februari 2010.
6. Anonim. 2010. Batu Saluran Kemih. www. iaui.or.id/ast/file/batu_saluran_kemih. Diakses tanggal 9 Februari 2010.
7. Anonim. ESWL Mechine. 2010. www.myanasti.files.wordpress.com. Diakses tanggal 9 Februari 2010.
8. Wolf Jr, J Stuart. 2010. Nephrolithiasis : Treatment & Medication. www.emedicine.com. Diakses tanggal 9 Februari 2010.